.:: ASSALAMUALAIKUM.:: AHLAN WASAHLAN DI BLOG INI. Ya! ANDA AKAN BELAJAR BARENG M Hasbi :. Belajar About Dunia Islam, Belajar About Dunia Pemikiran, Belajar About Dunia Tutorial, Belajar About Tips Dan Trick Aneh, Belajar Design Website, Belajar Dunia Shell-ing, Belajar Mencari Hikmah Dan Lain Sebagainya. Sooo ikuti terus perkembanganya. Anda juga bisa mendiskusikan permasalahan apapun tentang Agama Islam bersama saya. Ketik saja di ShoutBox.::. Akhirnya TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA, SELAMAT MENIKMATI SEMOGA BERKENAN .::.

Sunday, September 30, 2007

Ibnu Arabi dan Wahdatul Wujud

Ibnu Arabi dan Wahdatul Wujud

November 23, 2006

Ibnu Arabi dan Wahdatul Wujud

Oleh: Dr. Syamsuddin Arif *)
Kepercayaan Tuhan menjelma di mana-mana atau ‘manunggaling kawula lan gusti’ tak pernah surut. Nabi sendiri tidak pernah memposisikan dirinya lebih dari ‘hamba Tuhan’

Suatu hari, seorang pengembara mengetuk pintu rumah Junayd, tokoh sufi terkemuka pada zamannya. “Siapa di situ?” tanyanya. Si tamu menjawab: “Aku Sang Kebenaran (ana l-haqq)!” Mendengar itu Junayd berkata: “Anta bi l-Haqq. Engkau bakal membinasakan kayu bakar”. Ramalan Junayd terbukti. Pada hari Selasa 24 Dzulqa’dah 309 Hijriah bertepatan dengan 26 Maret 922 Masehi, sang pengembara yang tidak lain adalah Abu l-Mughits al-Husayn ibn Manshur al-Hallaj dihukum mati di alun-alun kota Baghdad. Ucapan-ucapannya –yang tertuang dalam bentuk prosa maupun puisi- dinilai menyimpang dan mengelirukan karena mengajarkan pantheisme dan manunggaling kawula lan gusti.

Pantheisme ialah kepercayaan bahwa Tuhan menjelma di mana-mana, bahwa segala yang wujud di alam ini adalah perwujudannya. Sedangkan ‘manunggaling kawula lan gusti’ secara literal berarti menyatu hamba dan Tuhan. Ajaran mistis ini pernah menggegerkan Kerajaan Islam Demak sehingga Syekh Siti Jenar (Lemah Abang) dieksekusi oleh para Wali Sanga. Sesudahnya pernah juga heboh kasus Haji Mutamakkin yang menganggap ibadah-ibadah zahir tidak perlu bagi orang yang sudah menyatu dengan Tuhan (Lihat: P.J. Zoetmulder, Pantheïsme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, terj. Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia, 1991 dan Subardi, The Book of Cabolek, The Hague: Martinus Nijhoff, 1975).

Kasus-kasus tersebut di atas tidak pernah -untuk tidak mengatakan mustahil- terjadi ketika Nabi SAW masih hidup. Di zaman Rasulullah, kenyelenehan paling jauh yang kita ketahui ialah dakwaan Musailamah si pendusta. Penguasa Yamamah (Najd) dan kepala suku Bani Hanifah ini memang memproklamirkan diri sebagai nabi, namun ia tidak pernah mengaku bersatu (ittihad) dengan Tuhan dan tidak pula mendaku Tuhan masuk, berada atau bersemayam (hulul) dalam dirinya.

Mustahil, sebab Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah memposisikan dirinya lebih dari sekadar ‘hamba Tuhan’ (‘abdullah) dan utusanNya (rasuluhu). Tidak terdapat satu hadis pun yang mengabarkan pada kita tentang ucapan-ucapan mengarut (syathahat) semisal “Maha suci aku”, “Tuhan ada dalam jubahku” dan sebagainya keluar dari mulut beliau. Rasulullah SAW selalu menggunakan kata ganti orang kedua tunggal (dhamir al-mukhathab al-mufrad) dan kata ganti orang ketiga tunggal (dhamir al-gha’ib al-mufrad) apabila beliau berkata tentang dan kepada Tuhan. Misalnya: “Maha suci Engkau. Tak terhitung pujian bagiMu. Engkau sebagaimana Kau puji diriMu” (subhanak allahumma la nuhshi tsana’an ‘alayka anta kama atsnayta ‘ala nafsika), atau “Maha suci Tuhanku yang maha tinggi” (subhana rabbiya l-a‘la). Semua ini tentu saja sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam firman-Nya (e.g. QS 2:32, 17:1, 21:87, 36:83, 37:180).

Selain al-Hallaj, tokoh sufi favorit yang kerap dikaitkan dengan pantheisme ialah Ibnu Arabi (w. 638 H/ 1240 M). Kepada pemikir kontroversial asal Murcia, Andalusia ini telah disematkan label ‘sufi liberal’ dan ‘pluralis’. Kepadanya jua dinisbatkan doktrin wahdatu l-wujud yang telah menimbulkan polemik tak berkesudahan di kalangan ulama maupun ‘sufaha’ hingga hari ini. (Lihat: al-Biqa‘i, Masra‘ al-Tashawwuf, aw, Tanbih al-Ghabi ila Takfir Ibn ‘Arabi, ed. ‘Abd ar-Rahman al-Wakil (Bilbis: Dar al-Taqwa, 1989) dan al-Suyuthi, Tanbih al-Ghabi fi Takhti’ati Ibn ‘Arabi, ed. ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud (Kairo: Maktabat al-Adab, 1990). Peliknya, istilah ‘wahdatu l-wujud’ sendiri tidak ditemukan dalam karya-karya Ibnu Arabi. Menurut William Chittick, istilah ini kemungkinan besar pertama kali diperkenalkan oleh Shadruddin al-Qunawi (w. 637 H/1274 M), murid setia sekaligus anak tiri Ibnu Arabi, dan dipopulerkan oleh penulis-penulis sesudahnya semisal Ibn Sab‘in (w. 646 H/1248 M) dan Afifuddin at-Tilimsani (w. 690 H/1291).

Konotasi negatif yang melekat pada istilah wahdatul-wujud kian menguat sesudah dikritik habis oleh Ibnu Taymiyyah (w. 728 H/1328 M). Bagi ulama yang wafat dalam penjara Damaskus ini, wahdatul wujud bukanlah tawhid, melainkan pantheisme terselubung yang mengingkari eksistensi Tuhan karena menganggap Tuhan ada dimana-mana dan menganggap alam semesta (termasuk manusia) sebagai manifestasinya: “ma tsamma mawjud illa hadza l-‘alam al-masyhud”. Inti paham ini, tegasnya, mengidentikkan wujud Tuhan dengan dengan wujud segala yang ada: “anna wujuda l-ka’inat huwa ‘aynu wujudillah” (Lihat: Dar’u t-Ta‘arudh al-‘Aql wa n-Naql, ed. M. Rasyad Salim, Dar al-Kunuz al-Adabiyyah, 3:163 dan Majmu‘at Rasa’il Ibn Taymiyyah, ed. S.M. Rasyid Ridha, Kairo 1349 H, 4:4 dan 1:71).
Dikenal pemberani, jujur dan bernalar tajam, Ibnu Taimiyah tidak asal tuduh. Sebagai bukti ditunjuknya dua bait puisi Ibn Arabi dalam pembukaan kitab al-Futuhat al-Makkiyah (paragraf 6) yang berbunyi: “Tuhan adalah benar-nyata, tetapi hamba juga benar-nyata.

Aduhai lantas siapa yang dibebani kewajiban? Jika engkau katakan ‘hamba’, dialah ‘Tuhan’. Tapi jika engkau katakan ‘Tuhan’, mengapa pula dibebani kewajiban?” (Ibn Taymiyyah, op.cit., 1:73). Itu baru satu bukti, belum lagi ungkapan-ungkapan senada yang bertaburan dalam kitab Fushus al-Hikam.

Contohnya: “Maha suci Tuhan yang mewujudkan segala sesuatu dan menjadi esensinya (Subhâna man azh-hara al-asy-yâ’a wa huwa ‘aynuhâ)” dan “Sang Kebenaran adalah ciptaan dari perspektif ini maka pahamilah, akan tetapi juga bukan ciptaan dari perspektif itu maka ingatlah!” (Lihat Fushus al-Hikam, ed. A. al-‘Afifi, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1946, hlm. 79 dan A.E. Afifi, The Mystical Philosophy of Muhyid Din Ibnul Arabi, Cambridge: Cambridge University Press, 1939, hlm. 135).

Golongan yang mengatakan Tuhan ada dimana-mana kerap berdalih dengan dua ayat al-Qur’an. Pertama, dengan ayat 16 surah Qaf: “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. Banyak ulama tafsir memahami frasa “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” sebagai pernyataan figuratif metaforis. “Ini merupakan perumpamaan kedekatan (hadza matsal fi farth al-qurb),” tegas Imam al-Biqa‘i (w. 885 H/1480 M) dalam tafsirnya, Nazhmu d-Durar fi Tanasub al-Ayat wa s-Surar. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Imam al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam al-Jami‘ li-Ahkami l-Qur’an.

Sebagian mufassir seperti Imam Ibn Katsir (w. 774 H/1373 M) mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kedekatan para malaikat Allah, sesuai dengan konteks ayat sesudahnya yang menyebut malaikat pengawas-pencatat Raqib dan ‘Atid. Walhasil, kedekatan tersebut bukan kedekatan jarak fisikal sebagaimana dikhayalkan oleh penganut manunggaling kawula gusti.

Kedua, dengan ayat 4 surah al-Hadid: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. Dia mengetahui segala yang masuk ke dalam bumi dan segala yang keluar darinya, segala yang turun dari langit dan segala yang naik ke sana, dan Dia beserta kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Huwa al-ladzi khalaqa as-samawati wa al-ardha fi sittati ayyamin tsumma istawa ‘ala al-‘arsy, ya‘lamu ma yaliju fi al-ardhi wama yakhruju minha wama yanzilu min as-sama’i wama ya‘ruju fiha wa Huwa ma‘akum aynama kuntum wa Allahu bima ta‘maluna bashir). Tidak sedikit orang yang tergelincir ketika menafsirkan ayat ambigu ini.

Penafsiran Ibnu Arabi sendiri terhadap ungkapan yang digarisbawahi di atas dapat kita ikuti dalam kitab al-Futuhat Makkiyyah (bab 272) ketika ia menguraikan isi kandungan ayat 7 surat 58 (al-Mujadalah): “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada [pembicaraan antara] lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada [pula pembicaraan antara jumlah] yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada beserta mereka di manapun mereka berada (ma yakunu min najwa tsalatsatin illa Huwa rabi‘uhum, wa la khamsatin illa Huwa sadisuhum, wa la adna min dzalika wa la aktsara illa Huwa ma‘ahum aynama kanu).”

Seorang pembaca yang cermat, kata Ibnu Arabi, dapat dengan mudah menangkap bahwa maksud ungkapan “wa la adna min dzalika ” adalah dua orang, sedangkan “wa la aktsara” berarti tujuh orang atau lebih. Ibnu Arabi kemudian mengajukan pertanyaan: Kenapa dalam ayat tersebut dikatakan “jika ada tiga individu maka Allah adalah yang keempatnya, dan jika ada lima maka Allah yang keenam”? Kenapa bukan “jika ada empat maka Dia kelimanya, ataupun jika ada enam maka Dia ketujuhnya”?

Jawabannya, imbuh Ibnu Arabi, adalah karena Allah hendak menegaskan keesaan-Nya (annahu yuridu al-ifrad), bahwa hanya Dialah yang berdiri sendiri, yang wujudNya diperlukan namun tidak memerlukan yang lain. Dalam setiap jumlah tersebut, Allah menjadi penggenap akan tetapi tidak termasuk di dalamnya (yasyfa‘uha [ya‘ni an-najwa] bima laysa minha). Dengan begitu, tambahnya, Allah juga menunjukkan status keberbedaanNya. Artinya, tak seorangpun dapat independen sendiri melainkan wujudnya digenapkan oleh al-Haqq, karena ketunggalan dan keesaan hanya milikNya semata (hatta la takuna al-ahadiyyatu illa lahu). Oleh karena makhluk mustahil dapat menggenapkanNya, tetapi sebaliknya Dia yang menggenapkan makhluk, maka berfirmanlah Dia: wa Huwa ma‘akum aynama kuntum.

Menarik untuk dipertanyakan, lanjut Ibnu Arabi, mengapa bukan sebaliknya. Mengapa Allah tidak mengatakan: wa antum ma‘aHu aynama kana? Jawabannya, karena mustahil bagi makhluk dapat beserta denganNya, walaupun tidak mustahil bagiNya untuk beserta kita (fa-ya‘lamu subhanahu kayfa yash-habuna wa la na‘rifu kayfa nash-habuHu).

Singkatnya, tafsir dari surat al-Hadid ayat 4 tersebut di atas menurut Ibnu Arabi ialah: Kebesertaan hanya mungkin bagiNya, tetapi mustahil bagi kita (fa al-ma‘iyyah lahu tsabitah fina, manfiyyah ‘anna fihi). Terlepas dari benar-tidaknya, uraian Ibnu Arabi ini setidaknya menjelaskan pada kita posisinya yang tidak sehaluan dengan ajaran manunggaling kawula lan gusti.

Namun di sinilah tampak jelas ambivalensi Ibnu Arabi. Di satu sisi terkesan menganut pantheisme dan di sisi lain terkesan menolaknya. Sikap mendua ini juga ditangkap oleh Ibnu Taimiyah: “Ibnu Arabi lebih dekat ke Islam dan paling indah kata-katanya … sehingga banyak dikutip orang.” (op.cit. 1:176). Wallahu a‘lam. (Hidayatullah.com)

*) Penulis peneliti INSISTS, sedang mengadakan penelitian di Johann olfgang Goethe-Universität, Frankfurt am Main , Jerman, untuk PhD keduanya

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com