.:: ASSALAMUALAIKUM.:: AHLAN WASAHLAN DI BLOG INI. Ya! ANDA AKAN BELAJAR BARENG M Hasbi :. Belajar About Dunia Islam, Belajar About Dunia Pemikiran, Belajar About Dunia Tutorial, Belajar About Tips Dan Trick Aneh, Belajar Design Website, Belajar Dunia Shell-ing, Belajar Mencari Hikmah Dan Lain Sebagainya. Sooo ikuti terus perkembanganya. Anda juga bisa mendiskusikan permasalahan apapun tentang Agama Islam bersama saya. Ketik saja di ShoutBox.::. Akhirnya TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA, SELAMAT MENIKMATI SEMOGA BERKENAN .::.

Friday, October 5, 2007

OPPOSITION PARTY & 'BUGHAT' VERSI FIQIH (Epistemologi, Ontologi dan Aksiologi)


Berhubung SUHU POLITIK Indonesia sedang menghangat terbukti dengan dimulainya wacana Bursa Capres 2009, adanya 73 Parpol yang siap berlaga pada pemilu nanti serta lirikan-lirikan tajam parpol besar dalam mencari jagonya untuk diadu pada pemilu 2009.
Nah lho..... !! Untuk itu............


postingan artikel berikut keknya sangat pas deh dengan tajuk diatas, yang mungkin
perlu dikritisi ataupun didukung.

Silahkan :

______________________

OPPOSITION PARTY & 'BUGHAT' VERSI FIQIH

(Epistemologi, Ontologi dan Aksiologi)

Diambil dari sumber

http://www.mykhilafah.com/modules.php?name=News&file=article&sid=4

Diedit ulang oleh : Muhammad Hasbi )*

Prolog:

Epistemologi tentang pembangkang pemerintah (goverment opposition) dan partai pembangkang (opposition party) yang berkembang di dunia Islam, khususnya pada sistem demokrasi adalah menarik untuk dikorek secara terperinci, bersamaan dengan sejarah kemunculannya, peradaban dan way of life-nya sehingga memerlukan pandangan fikih secara mendalam, termasuk apa dan bagaimana bughat (pembangkang) menurut kacamata fiqih Islam?

Untuk membahas problematika di atas, perlu kita sistemasikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

A). Sejak kapan muncul istilah pembangkang pemerintah (goverment opposition) dan partai pembangkang (opposition party) dengan konsep yang dikategorikan sebagai bughat dalam fiqih islam?

B). Bagaimanakah leksikalisasi sebuah kedudukan dan fungsi partai yang berkuasa (goverment party) dan partai pembangkang (opposition party) dalam sistem demokrasi, serta perbedaan antara partai-partai tersebut dengan partai Islam pada sistem Khilafah Islam baik dari segi kedudukan maupun fungsi masing-masing?

C). Apa, siapa dan bagaimanakah Bughat dalam sistem Khilafah Islam?

D). Adakah wujud pembangkang yang dianggap sah oleh sistem Khilafah Islam?

A. Sejarah Pembangkang (opposition) di Negera Islam

Istilah pembangkang pemerintahan (goverment opposition) dan partai pembangkang (opposition party) yang mengekor pada sistem demokrasi era sesungguhnya bermula dan berkembang seiring dengan masuknya sistem demokrasi Barat dalam dunia Islam. Dan kemudian mengakardan menghegomoni kaum muslimin menjelang dan setelah runtuhnya sistem Khilafah Islam, pada tanggal 3 Maret 1924.

Konsep oposisi ini bukanlah merupakan konsep demokrasi yang tulen yang berasal dari kapitalisme, namun merupakan adaptasi terhadap sistem sosialisme yang berkembang. Hal ini bukannya kali pertama kapitalisme beradaptasi dengan sosialisme, bisa kita lihat dalam berbagai tatanan kapitalisme juga melakukan hal yang sama. Konsep keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyah) adalah konsep kapitalis yang diubah berasas kepada konsep equality (persamaan) sosialis, sebagaimana yang kini berkembang pada kebanyakan negara-negara islam, seperti Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai asas negaranya.

Mengapa oposisi ini bukanlah orisinilitas dari sebuah konsep pemerintahan kapitalis? Jawabannya karena asas pemikiran yang menjadi dasar lahirnya oposisi tersebut adalah kritik sosial yang akan mewujudkan balance (keseimbangan) dan kemajuan melalui persaingan. Lebih lanjut lagi konsep ini dibangun berdasarkan konsep dialektika materialisme (perubahan material), yaitu koheransi antara thesis-antithesis-sinthesis. Thesis adalah wujud asal sebelum ada perubahan. Antithesis adalah wujud lain yang dibuat untuk mengubah keadaan asal tadi sehingga akan mamunculkan synthesis atau perubahan yang diingini. Inilah inti dari pandangan sosialisme yang dibangun berdasarkan konsep dialektika materialisme. Keadaan asal, yaitu keadaan yang ketika ini dibentuk oleh pemerintahan adalah thesis. Agar keadaan tersebut berubah menjadi lebih baik, maka dibentuklah opposition, opposition ini disebut antithesis. Dengan harapan oposition tersebut dibentuk untuk mewujudkan balance atau perubahan yang lebih baik.

Konsep oposisi ini memang legal dalam sistem demokrasi, kerana dipandang dapat mewujudkan balance dan kemajuan. Konsep ini kemudian dilaksanakan dengan kebebasan berbicara (freedom of speech) yang tidak didasari dengan suatu kaidah apapun, melainkan murni kebebasan berbicara itu sendiri. Apapun yang tidak sesuai dengan garis panduan pemerintah dianggap sebagai pembangkangan, meskipun yang disampaikan itu benar menurut hukum Islam, kerana disinyalir akan membahayakan pemerintah begitu pula sebaliknya. Sedangkan yang menjadi kaidah freedom of speech adalah asas manfaat. yaitu, selama yang disampaikan menguntungkan pemerintahan, posisi pentolan keperintahan atau lainnya, meskipun kontra dengan garis pandu pemerintahan, freedom of speech tersebut dibolehkan. Singkatnya asas freedom of speech ini adalah manfaat, bukan halal-haram yang dibenarkan oleh syari’at Islam.

Freedom of speech dalam sistem demokrasi muncul setelah suara rakyat dikebiri, tidak boleh disalurkan meskipun hanya sebatas menuntut hak-hak mereka, hak-hak mereka diambil secara paksa oleh para penguasanya yang absolut dan diktator, dalam hal ini yaitu pihak gereja. Semenjak akhirnya lahirlah arus besar yang menuntut sebuah tajdid (perubahan), kebebasan (freedom) dan persamaan (equqlity) yang dikenal dengan adigium: liberty, eqaulity dan fraternity. Gelombang besar yang kemudian melahirkan tuntutan tersebut terjadi pada abad ke-17 s/d 18 Masehi, yaitu di era Renaissance (kebangkitan).

Inilah peta singkat historisasi kaum pembangkang (Oposisi), partai pembangkang dan freedom of speech yang berkembang di Barat. Adapun perkembangan konsep ini dalam dunia Islam bermula sejak kemunduran Khilafah Ustmaniyah. Pada tahun 1816 M di perpustakaan-perpustakaan Mesir sudah dijumpai pemikiran Voltaire, Rostow dan Montesque (terkenal dengan konsep trias politica-nya). Bahkan lebih parah lagi setelah pelajar-pelajar Islam dikirim ke Eropa, seperti Rifa’ah At-Thahthawi (1826-1831) dan Khairuddin At-Tunisi (1852-1856) ke Paris. Pada tahun 1869, Al-Majallah Al-Adliyah diterbitkan oleh Sultan Abdul Aziz yang kemudian disidangkan di mahkamah umum, dengan bergulirnya peristiwa tersebut pemahaman kaum muslimin mengenai Islam, akidah dan syari’atnya menjadi kabur serasa jauh dari Islam (Ittijahatu At-Tafsir Fi Al-Ashri Ar-Rahin, Dr. Abdul Majid Al-Muhtasib, hal. 1-4). Seiring dengannya, muncul tuntutan freedom of speech, demokrasi, pembangkang, partai pembangkang dan ide-ide lain dalam dunia Islam sampai berjaya dan menjatuhkan Khilafah Islam.

B. Partai Berkuasa, Partai Pembangkang versus Partai Islam

Kedudukan partai yang berkuasa (partai pemerintahan) dengan partai pembangkang (oposisi) ditentukan melalui pilihan langsung (pemilu). Yaitu dimanapun di antara partai tersebut yang memenangi pemilu dengan suara terbanyak maka itulah partai yang berkuasa yang berhak memegang alih pemerintahan. Sedangkan partai pembangkang adalah partai yang kalah pada perolehan suara ketika pemilu berlangsung. Tekadang partai-partai ini sering mengkritisi garis panduan pemerintahan yang telah dibuat oleh partai yang berkuasa terkadang juga setuju serta mendukung garis panduan yang telah dibuat oleh partai berkuasa. Biasanya setiap partai mempunyai program dan alur masing-masing dalam berpolitik sebagai sarana mencari dukungan dari masyarakat untuk memenangi pemilu raya baik dari partai pemerintahan ataupun partai pembangkang (oposisi).

Umumnya partai berkuasa (partai pemerintahan) akan berkoalisi dengan partai lain agar bisa memenangi perolehan suara terbanyak dalam pilihan raya, tanpa mempertimbangkan faktor keislaman, non-islam, etnik dan sebagainya, begitu pula dengan partai oposisi. Ini dikarenakan masing-masing mempunyai kepentingan yaitu untuk memenangkan suara dalam pilihan raya dengan asas yang diikuti/rujuk adalah manfaat, bukan yang lain. Walaupun terkadang untuk memperolehi kepentingan itu, masing-masing terpaksa menghalalkan segala cara. Berikutnya setelah partai-partai tersebut melakukan pemungutan suara dalam pilihan raya, maka hasil pilihan itulah yang akan menjadi wakil-wakil partai dalam parlemen. Dimana jumlah kursi partai dalam parlemen tersebut ditetapkan mengikut perolehan hasil suara pada pemilu. Siapa yang mendapat kursi mayoritas, maka hampir dipastikan dapat menentukan garis panduan Negara (UU). Sehingga bagi mereka, pilihan raya menjadi sarana yang sangat penting untuk menentukan garis panduan (dasar) negara. Sedangkan dengan freedom of speech yang dianuti oleh negara pengikut sistem demokrasi, partai oposisi akan senantiasa menentang segala alur pemerintahan dengan tujuan mendapat simpati dari rakyat agar nantinya bisa memenangi perolehan suara pada pilihan nanti tanpa mempertimbangkan aspek halal-haram. Inilah fakta mengenai partai oposisi dan partai berkuasa dalam sistem demokrasi.

Sedangkan sistem kepartaian dalam islam jelas berlainan, yaitu :

Pertama, dalil kewajiban mendirikan partai Islam adalah surah Ali Imran: 104, berbunyi:


"Hendaknya ada di antara kalian ‘umat’ yang menyeru pada Islam, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Dan mereka inilah orang-orang yang beruntung."

Pada kalimat: "Hendaknya ada di antara kamu ‘umat’." dalam bahasa asalnya: "Waltakun Minkum Ummatun." adalah fi’il mudhari’ yang disertai dengan huruf: "Lam Li Al-Amri" (Lam yang berfungsi perintah). Disamping itu terdapat indikasi (qarinah) yang melarang untuk meninggalkan perintah tersebut, bahkan pelakunya diancam dengan siksa neraka (Ali Imran: 105).

Ini menunjukkan bahwa perintah tersebut adalah perintah yang tegas (thalaban jaaziman) yang bermakna wajib. Akan tetapi kewajiban itu merupakan wajib kifayah, yakni kewajiban yang hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Surah Ali Imran: 104 ini tidak boleh diartikan dengan yang lain, sebab pokok utama pembahasan ayat tersebut adalah kewajiban membentuk jama’ah, partai atau kelompok, dan bukan perintah agar ada di antara umat Islam sebuah umat. Kerana, surat Ali Imran: 110 menjelaskan bahawa umat Islam ini merupakan umat terbaik. Sampai sini muncul pertanyaan, mengapa Allah masih memerintahkan agar membentuk umat, padahal umat Islam sudah merupakan umat terbaik?... Tentu yang dimaksudkan itu adalah sesuatu yang berlainan diantara ‘umat’, dalam surat Ali Imran 110 dengan dengan ‘umat’ di dalam ayat 104. Dimana kalimat ‘umat’ di dalam ayat 104 ini adalah merujuk pada jemaah, partai ataupun kelompok.

Kedua, asas dan aktifitas partai tersebut haruslah didasarkan pada Islam dan tidak boleh menyimpang daripada Islam. Ini didasarkan pada sifat partai yang diperintahkan dalam surat Ali Imran: 104, yaitu:

1). Menyeru kepada Islam, sama mengajak orang kafir masuk Islam ataupun mengajak orang Islam memulai kembali kehidupan Islam dengan menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh). Dimana untuk menerapkan Islam dan mengajak orang kafir masuk Islam secara efektif dan tepat adalah melalui negara.

2). Menyeru pada kema’rufan dan mencegah kemungkaran, baik menyeru pada rakyat biasa maupun pemerintahan, termasuk mencegah kemungkaran rakyat biasa ataupun pemerintahan. Sebab, tidak mungkin partai tersebut menyeru pada Islam, menyerukan kema’rufan dan mencegah kemungkaran, sedangkan asas dan aktifitasnya tidak bersumber daripada Islam, yang bererti bertentangan dengan sifat yang diperintahkan itu sendiri. Dan ini mustahil.

Inilah dasar pokok yang menjadi pondasi mendirikan partai Islam. Karana itulah, maka seluruh aktifitas termasuk asas politiknya tidak boleh bertentangan dengan Islam, dan senantiasa akan diikat dengan halal-haram menurut syari’at Islam. Dan dalam menyuarakan pandangannya, ia tidak mengikut freedom of speech yang tidak berdasar pada kaidah hukum Islam. Sebaliknya semua pandangan, pendapat dan pendirian politiknya akan senantiasa berasaskan hukum Islam.

Partai Islam akan menyuarakan pandangan dan pendirian politiknya yang merupakan kewajiban yang dilakukan oleh pemerintahan, jika pemerintahan membuat dasar negara yang bertentangan dengan hukum Islam. Kerana mengoreksi penguasa (muhasabah li al-hukkam) adalah fardhu kifayah yang harus dibawa/dipegang oleh partai Islam dan kaum muslimin.

Berdasarkan sabda Nabi:

"Penghulu para syahid adalah Hamzah bin Abdil Muthallib, serta orang yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim, lalu menasihatinya kemudian ia membunuhnya."

(HR Al-Hakim dari Jabir).

Juga sabda Nabi:

"(Sebaik-baik jihad) menyatakan kalimat yang haq di hadapan penguasa yang zalim." (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Abi Umamah Al-Bahili).

Adapun kritik, usulan dan pandangan adalah hak, bukan merupakan kewajiban yang mesti dilaksanakan ataupun tidak. Begitu juga bagi pihak pemerintahan, diperbolehkan mengambil usulan partai atau menolaknya. Firman Allah mengatakan:

"Dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan itu." (Ali Imran: 159)

Ayat ini dikhususkan untuk orang Islam, bukan yang lain. Disamping itu partai tidak semestinya menjadi anggota majlis umat, sebagaimana dalam sistem demokrasi. Dan, majlis umatpun bukanlah sebagai lembaga legislatif yang berfungsi membuat Undang-undang (Qanun) dan Perlembagaan (Dustur). Kerana ini hanya hak kepala negara (Khalifah) baik diambil melalui ijtihad-nya sendiri ataupun mengambil ijtihad orang lain.

Seorang kepala negara, juga tidak ada kaitannya dengan partai politik setelah diangkat menjadi kepala negara, meskipun sebelumnya dia merupakan anggota atau kepala partai politik Islam tertentu. Sehingga, semua partai politik Islam, baik dari partai yang sebelumnya merupakan partai kepala pemerintahan ataupun bukan, akan mengambil pendirian politik yang sama terhadap pemerintahan. Sebaliknya, kepala negara tidak akan mempunyai pendirian politik yang tidak adil terhadap partai-partai politik Islam yang sebelumnya bukan menjadi wadahnya. Dengan begitu Islam tidak mengenal partai pemerintahan dan partai pembangkang. Sebab, kedudukan partai dalam Islam sama, dimana masing-masing tidak terkait dengan negara. Negara juga tidak boleh membubarkan partai tersebut, kecuali jika ia menyimpang dari Islam dan syari’atnya. Begitu juga, untuk mendirikannya tidak memerlukan izin khusus dari pemerintahan, sebab partai tersebut berdiri untuk melaksanakan kewajiban. Dan untuk melaksanakan kewajiban tidak memerlukan izin sesiapapun, kecuali izin Allah (yaitu mengikut Peraturan pemerintah (Dustur) hukum Allah.

Dalam Khilafah Islam, semua partai adalah sama, yaitu sama-sama Islam, tidak ada partai yang lain, sama ada yang didirikan berdasarkan asas perkauman, seperti Melayu, Cina, India, Arab atau yang lain. Orang non-islam tidak mempunyai hak untuk membentuk partai politik. Mereka juga tidak berhak untuk memberikan pandangan dan usulan kepada pemerintahan sebagai bahagian dari syura. Kerana, syura hanya merupakan hak orang-orang Islam (Ali Imran: 159). Akan tetapi mereka tetap diberi hak untuk menyampaikan pengaduan kepada pemerintahan atas kezaliman yang dilakukan oleh pemerintahan kepada mereka. Sabda Nabi:

"Barang siapa yang hartanya aku ambil (secara zalim), ini hartaku silahkan ambil, dan barangsiapa yang belakangnya aku sebat (secara zalim), ini belakangku, balaslah. Sebab sesungguhnya aku ingin bertemu Allah, dan tidak ada seorang pun yang menuntut kepadaku kerana kezaliman."

Hadisini bersifat umum sama untuk orang Islam atau non- islam, masing-masing berhak menuntut balas kepada Nabi saw. Inilah hak politik orang kafir dalam Khilafah Islam. Sedangkan dalam hal yang lain, (kecuali akidah, ibadah, pakaian, makanan serta pernikahan) adalah sama dengan orang Islam. Mereka mempunyai hak politik yang sama.

C. Apakah dan Siapakah “Bughat” Dalam Negara (Khilafah) Islam?

Dalam negara Islam ataupun Khilafah Islam, orang atau kelompok yang disebut sebagai pembangkang (oposisi) hanya ada satu istilah, yaitu bughat. Lalu siapa yang disebut bughat menurut konsep fiqih Islam?...

Bughat adalah sejumlah orang yang mempunyai ciri-ciri, antara lain:
(1) Membangkang pada negara Islam seperti tidak bersedia menunaikan hak, mentaati Peraturan pemerintah(Dustur) atau melakukan aktifitas menentang kepala negara;
(2) Adanya kekuatan yang boleh dimanfaatkan oleh bughat untuk mengambil kekuasaan;
(3) Memisahkan diri dari negara Islam, seperti revolusi bersenjata, gerakan pemisah, terorisme untuk mencapai tujuan politik

(At-Tasyri’ Al-Jina’i Fi Al-Madzahib Al-Khamsah, I/148-150; Al-Jihad Wa Al-Qital Fi As-Siyasah As-Syar’iyah, Dr. Muhammad Khair Haekal, I/63-64; Al-Um, As-Syafi’I, IV/216; Al-Mughni, Ibnu Qudamah, X/52; Al-Muhallah, Ibnu Hazm, XI/97-98).

Dr. Muhammad Khair Haekal menjelaskan, bahwa masalah bughat ini berasal dari ayat:

"Jika ada dua kelompok orang beriman saling berperang, maka damaikanlah di antara mereka. Jika salah satu kelompok tersebut membangkang (melakukan perlawanan) terhadap yang lain, maka perangilah yang lain yang membangkang sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah." (TMQ. Al-Hujurat: 9).

Beliau menegaskan, bahwa bughat disini mempunyai makna mutlaq yang tidak disertai taqyid (ketentuan ataupun syarat) apapun. Sehingga, aktifitas yang dilakukan oleh kelompok dimana pelakunya disebut bughat tidak disertai syarat apapun, yaitu kelompok yang melakukan pembangkangan untuk kepentingan dunia (Al-Jihad Wa Al-Qital Fi As-Siyasah As-Syar’iyah, I/64).

Orang Islam mempunyai pandangan berdasarkan ijtihad yang dilakukannya, berbeda dengan bangunan Peraturan pemerintah(Dustur) hukum Islam yang diambil khalifah dengan yang terdapat dalam Undang-undang (qanun) dan Peratuan-pemerintah (Dustur) negara, tidak dapat disebut sebagai bughat, selama ia tetap melaksanakan tabanni khalifah, meskipun dalam kajian dan pengajarannya ia mengambil ijtihad-nya sendiri. Kecuali, jika orang tersebut melakukan ijtihad dengan dalil-dalil yang tidak dibenarkan oleh syara’, atau melakukan ijtihad yang seyogyanya tidak boleh dilakukan, karena sudah ada penjelasan nas. Sebagai contoh, jika ada seorang ulama ’membolehkan tempat pelacuran dengan menggunakan kaedah: Akhaffu Ad-Dhararaini. Sementara sudah ada nas yang dengan tegas melarang zina. Maka, ijtihad ulama’ tersebut dianggap menyimpang. Kerana kewajiban untuk mentaati Undang-undang (Kanun) dan Peraturan pemerintah (Dustur) itu terbatas dalam masalah pelaksanaan (tanfidz) saja, tidak lebih. Dimana dalam masalah pengajaran (ta’lim) dan kajian (ta’allum) diperbolehkan mengambil pandangan yang lain. Ini didasarkan pada kaidah: "Perintah imam harus dilaksanakan, secara zahir dan batin." Juga kaidah: "Perintah imam bisa menghilangkan perbedaan (di kalangan masyarakat)." Kaedah ini digali dari ijma’ sahabat yang masing-masing hanya menuntut amal, bukan yang lain.

Orang yang mengambil alih kekuasaan, kerana kepala negara Islam telah meninggalkan syari’at Islam, dan secara nyata terbukti telah kafir, setelah kekufurannya ditetapkan oleh mahkamah agama juga tidak dapat disebut sebagai bughat. Ini didasarkan kepada Hadis Nabi:

"Apakah kami diperbolehkan untuk memerangi mereka, Ya Rasulullah?" Jawab Nabi: "Jangan, biarkan mereka selama mereka masih menjalankan puasa dan shalat."

(HR At-Thabrani dalam Al-Kabir juga Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam Majma’u Az-Zawaid, V/224).

Puasa dan shalat di dalam hadis tersebut merupakan kiasan kepada penerapan syari’at Islam oleh kepala negara. Dalam riwayat lain:

"Dan agar kami tidak mengambil alih urusan (pemerintahan) itu dari ahlinya, kecuali (kata baginda): ‘Jika kalian menemukan kekufuran yang nyata, dimana kalian mempunyai bukti yang jelas di sisi Allah." (HR Bukhari, hadis nombor 7055 dan Muslim, hadis nombor 1709).

Bahkan sebagian ulama’ menyatakan wajib untuk mengganti penguasa yang menyimpang dari syari’at ketika ia mengambil syari’at kufur sebagai syariat dengan kekuatan. Ini adalah pandangan Aisyah, Thalhah, Zubeir bin Al-Awwam serta sahabat-sahabat yang mengikutinya, Mu’awiyah dan sahabat-sahabat yang sependapat dengannya, juga merupakan pandangan Al-Hussein bin Ali, Abdullah bin Zubeir serta sahabat dan tabi’in yang mengikutinya (Al-Muhalla, Ibnu Hazm, juz IX hal. 362). Namun ini hanya berlaku pada saat negara tersebut adalah negara Islam, yaitu Khilafah Islam Ar-Rasyidah ‘ala Minhaji An-Nubuwwah, bukan pada zaman ini. Oleh karena konteks nas-nas di atas hanya ditujukan kepada khalifah (kepala negara) yang ada dalam Khilafah Islam.

Kerananya, orang yang melakukan sosial control terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh kepala negara atau parlemen pemerintahan tidak dapat dipandang sebagai pembangkang (bughat). Juga orang yang mengambil alih kekuasaan dari tangan khalifah kerana dia telah nyata-nyata kufur, tidak dapat juga disebut bughat. Begitu pula orang yang mempunyai pandangan yang berbeda dalam masalah hukum syara’ dengan Peraturan pemerintah (Dustur) negara, menyampaikan dan mempelajari hukum syara’ yang tidak sama, juga tidak dapat disebut bughat. Selain, hal-hal di atas, sekiranya pembangkangan itu dilakukan tanpa kebenaran dari hukum syara’, maka itulah yang menurut fiqih Islam disebut pembangkang (bughat).

D. Tidak Ada Pembangkang Pemerintahan Yang Sah

Dengan batasan dan pengertian bughat di dalam fiqih Islam di atas, maka Islam tidak memberikan kebenaran bagi aktifitas maupun pelaku pembangkangan (al-bughyi). Dan tidak ada pembangkang negara yang sah dalam Islam. Demikian pula, Islam tidak akan memberikan tempat bagi terjadinya aktifititas dan pelaku pembangkangan dalam pengertian dan batasan-batasan syara’. Islam juga tidak akan membuka pintu bagi berkembangnya konsep pembangkang (opposition) dan partai pembangkang (opposition party), sebab ini merupakan produk tamadun (peradaban) dan way of life Barat. Islam bahkan mengharamkannya, sebagaimana yang termaktub dalam makna keumuman ayat: "Barangsiapa yang mengambil selain agama Islam sebagai agama (sebagai tuntunan ibadah dan ideologi), maka ianya tidak pernah diterima. Dan di akhirat, ianya termasuk kelompok orang-orang yang merugi." (Ali Imran: 85), juga keumuman makna hadis: "Barangsiapa yang menciptakan perkara baru dalam urusan (agama dan ideologi)-ku ini, yaitu perkara yang tidak berasas darinya, maka ianya harus ditolak." dalam riwayat lain: "Sesiapa sahaja yang melakukan perbuatan, yang tidak sesuai dengan ketentuanku, maka ianya wajib ditolak." (HR Bukhari dalam Fathu Al-Bari, VI/230; Muslim dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, XII/16; Ahmad dalam Musnad, Vi/146, 180, 240, 156 dan 270; Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud, V/12, semuanya bersumber dari Aisyah ra.).

Mengingat konsep ini merupakan konsep demokrasi, maka orang Islam tidak diperbolehkan untuk mengambil, menyerukan dan menerapkannya dalam kehidupan mereka, termasuklah mempergunakannya dalam usaha memperjuangkan hak dan kewajiban mereka. Sebab, kaedah syara’ menyatakan: Al-Ashlu Fi Al-Af’ali At-Taqayyudu bi Al-Ahkami As-Syar’i (Hukum asal perbuatan manusia haruslah terikat dengan hukum syara’), sedangkan hukum amalan tersebut telah jelas haram. Disamping ada kaedah: Al-Ghayatu La Tubarriru Al-Wasilah (Tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara).

Inilah ketentuan hukum Islam. Hukum Islam telah mengajarkan bagaimana untuk membentuk partai politik yang berasaskan Islam dan aktiviti yang senantiasa diatur berdasarkan hukum Islam. Partai politik ini mempunyai fungsi dan peranan untuk mendidik umat Islam agar mempunyai pemikiran politik yang agung. Yaitu melaksanakan seluruh syari’at Islam sama ada berkenaan dengan individu, masyarakat maupun negara, melalui Khilafah Islam. Dan disinilah peranan politik umat Islam sebelum berdirinya Khilafah Islam. Sedangkan pasca (selepas) berdirinya Khilafah Islam, partai tersebut bersama umat Islam senantiasa melakukan social control pada pemerintahan dengan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar, bahkan wajib mengambil alih kekuasaan jika Khilafah telah jelas menyimpang dari ketentuan syari’at Islam yang diterapkannya. Jadi, bukan dengan membentuk partai pembangkang atau kelompok pembangkang pemerintahan, ataupun dengan bekerjasama dengan orang-orang non-Islam dengan matlamat menghalalkan segala cara untuk tujuan mencapai keredhaan Allah, yaitu tegaknya hukum Islam. Ini adalah mustahil.

“Wallahu A’lam”

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com